Asal Usul Desa Balad

Asal - Usul Desa Balad


Balad berarti wadah atau tempat menampung/berkumpul, sedangkan arti yang lain Berasal dari kata bala yang berarti prajurit, pasukan perang kerajaan. Jadi Balad mengandung arti tempat penampungan atau berkumpulnya para wadyabala/ bala tentara yakni prajurit perang kerajaan. Namun ada lagi yang mengatakan nama Balad diambil dari asal kata Balad, bahasa arab yang berarti “Negara”, karena identik dengan tempat berkumpulnya para wali, para sesepuh, sultan dari kesultanan Cirebon serta tempat berkumpulnya para wadyabala gabungan (para prajurit perang kerajaan) Demak, Kuningan dan Kerajaan Cherbon pada waktu terjadinya perang Raja Galuh dengan Kerajaan Cherbon.
Pada jaman dahulu Baladf termasuk wilayah pesanggrahan Waru Gede, yaitu kekuasaan Nyi Mas Pakungwati.
Pada Tahun 1470 M, Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dari Negeri Mesir, selang satu tahun kedatangannya di bumi Cerbon, beliau menikah dengan Nyi Babadan putrid Ki Gedeng Babadan penguasa asal Galuh. Pada Tahun 1475 M, beliau menikah dengan Nyi Kawung Anten, adik dari Bupati Banten. Pada Tahun 1478, menikah lagi dengan putrid kesayangan Pangeran Cakrabuana yaitu Nyi Mas Pakungwati yang memiliki kepribadian terpuji, tutur kata, sikap prilaku dan perbuatannya menunjukkan keteladanan hidup bagi seorang wanita pada zaman itu. Pada Tahun 1481 M, Syarif Hidayatullah menikah dengan Ong Thien putrid Kaisar Yu Wang Lo dari negeri China yang berganti nama Ratu Mas Rara Sumanding. Tahun 1485 beliau menikah lagi dengan Nyai Lara Baghdad, adik dari Syarif Abdurahman (Pangeran Panjunan) yang masih ada garis keturunan dengan Syarif Abdullah, ayahanda Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah juga menikah lagi dengan Nyai Tepasari, putrid Ki Gedeng Tapasari pembesar Majapahit. Dari pernikahannya dengan Nyi Mas Tepasari dikaruniai 2 orang anak yaitu Ratu Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean).
Bertitik tolak dari permasalahan rumah tangga inilah, Nyi Mas Pakungwati memutuskan pergi meninggalkan Keraton Cirebon menuju Banten untuk mencari ketenangan lahir batin dengan membawa emban yang setia mendampingi perjalanannya. Setelah beberapa lama tinggal di Banten beliau kembali ke Cirebon, namun tidak langsung ke Istana Pakungwati tapi singgah di sebuah pedukuhan bernama Duku Demit (Cidemit) yang saat itu ada seorang kyai sedang babad alas yaitu Ki Maujud (Ki Gede Waru) dari Pajaran. Ki Maujud menyambutnya dengan sukacita.
Ketika sedang berada di Cidemit, pembantu Nyi Mas Pakungwati sedang hamil tua dan akan melahirkan. Beliau mencari dukun bayi maka berjalanlah kea rah selatan sampai di suatu tempat pawongan/pembantu tadi melahirkan bayi kembar dua. Beberapa hari tinggal di sekitar tempat itu kea rah utara komplek Syech Umar al-Faqih disebut Kebuyutan Kramat Dukumalang. Dari Kebuyutan Kramat Duku Malang berjalan kea rah barat sambil mencari air ada orang ditanya tapi tidak mau menjawab malah pergi menghindar, terus ke utara dan menanyakan lagi dimana air/sumber air kepada seseorang dan memberitahukan serta mengantarnya sampai ke sumber air (Sumur Balad sekarang), akhirnya Nyi Mas Pakungwati berucap kelak di tempat ini ada 7 sumber mata air yang tidak akan mengalami kekeringan. Perjalanan diteruskan kea rah barat, utara sampai ke sebuah gubug panggung dan singgah untuk istirahat. Dengan kehadiran Nyi Mas Pakungwati di tempat itu menjadi harum namanya (banyak orang membicarakannya) sehingga disebut orang manggung wangi (Girinata sekarang). Perjalanan diteruskan kea rah timur sampai ke sungai, beliau dalam keadaan hati rundung /pundung/gundah gulana disebut sungai Cirundung (Kepunduan sekarang) dan terus kembali ke Pasanggrahan Waru Gede.
Kanjeng Sinuhun mengajak Nyi Mas Pakungwati untuk kembali ke keraton Cerbon. Namun Nyi Mas Pakungwati masih tetap ingin tinggal di pesanggrahan Waru Gede, sehingga kanjeng sinuhun mengijinkannya dengan memenuhi kebutuhan baik alat-alat atau pun dayang-dayang dan para wadya bala secukupnya untuk mengawal dan menjaga keamanan.
Babad hutan yang dilakukan Ki Gede Waru dengan alat sederhana membuat Nyi Mas Pakungwati berinisiatif membabat alas dengan cara dibakar. Ternyata hutan yang dibakar sampai ke Padabeunghar kecuali di Gunung Lingga (disana ada orang cina bernama Cang Kong Wak/Cangkoak).
Wilayah pesanggrahan Waru Gede hasil bakar hutan meliputi: Pesanggrahan Waru, Kepunduan, Kedoya, Balad, Cangkoak, Dukupuntang, Cikalahang dan Padabeunghar.
Saat perang Rajagaluh, dukuh Demit atau Cidemit adalah tempat strategis untuk menunaikan ibadah shalat bagi para wadyabala carbon, Kuningan dan Demak serta untuk mengatur siasat perang. Berkumpul di Cidemit yang selanjutnya disebut Balad.
Pertempuran Pasukan Galuh dengan Pasukan Cerbon berlangsung di Desa Cipanas sekarang terjadi sangat sengit hingga akhirnya Rajagaluh kalah perang dan digabungkan dengan Cherbon pada tahun 1528. Duku Demit atau Cidemit menjadi wadah yakni tempat penampungan atau berkumpulnya bala tentara Cherbon, Kuningan dan Demak untuk melakukan ibadah shalat dan menyiapkan strategi perang, sekaligus sebagai tempat berkumpulnya para wali untuk musyawarah mengenai penyiaran agama Islam. Selanjutnya tempat tersebut menjadi Desa Balad.

Asal Usul Desa Dukupuntang


Asal Usul Desa Dukupuntang

Pada waktu terjadi peperangan antara Mbah Kuwu Cirebon dengan Ratu Rajagaluh, pasukan Mbah Kuwu Cirebon dibagi dua kelompok. Kelompok pertama membentang ke jurusan selatan dengan maksud untuk mencegat datangnya musuh dari Rajagaluh, dan kelompok kedua ke jurusan barat untuk membuat benteng pertahanan/penghalang datangnya musuh lewat Bobos. Pedukuhan bekas pembentangan tersebut dinamakan Puntang.

Di negeri seberang, Sultan Bagdad mempunyai empat orang anak yaitu Syarif Durakhman, Syarif Durakhim, Syarif Kaffi, dan Nyi Syarif bagdad. Mereka mempunyai alat kesenian berupa gembyung (terbang) namun ayahnya melarang membunyikannya, bahkan apabila dibunyikan ayahnya terus menerus memarahi mereka. Oleh karena tidak tahan dimarahi ayahnya, bersama pengikutnya keempatnya melarikan diri menuju daerah Cirebon. Pengikutnya itu terdiri dari laki-laki dan perempuan sekitar 1.200 orang ditempatkan di puntang.


Di antara pengikutnya tedapat dua orang yang sangat dikenal, yaitu Tuan Keli pesuruh dari Bagdad, dan pangeran Ardi Kersa yang ditugaskan oleh Mbah Kuwu Cirebon sebagai penasihat Syarif Kaffi (Sayid Alwi) di patuanan. Dalam menjalankan tugasnya Pangeran Ardi ditemani oleh dua orang sepupu Patuanan yaitu Ki Bakila dan Ki Rakila.

Setelah Syarif Kaffi wafat, ia dimakamkan di Patuanan. Oleh karena dianggap meninggalkan karomah, sekarang terbukti adanya pasarean. Kampung Kramat sebelum penggabungan desa berada di Desa Dukumalang.


Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar 1912, Bupati Cirebon memutuskan untuk menggabungkan Desa Puntang dan Desa Dukumalang, dan kuwunya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan masing-masing diberikan pension berupa sawah seluas ½ bau atau 0,175 ha.

Hasil penggabungan antara Desa Puntang dengan Desa Dukumalang dinamakan Desa Dukupuntang. “Duku” diambil dari nama depan dukumalang dan “puntang” dari Desa Puntang. Hasil pemilihan kuwu pertama terpilih Kuwu Sabda yang menjabat hingga akhir tahun 1947.

Pada tahun 1966 musyawarah tokoh masyarakat memutuskan untuk mengganti nama Desa Dukupuntang dengan Desa Kramat, dengan alasan nama Kramat lebih terkenal dibandingkan nama Dukupuntang. Namun karena terbentur pembiayaan, usulan penggantian nama tidak sempat diajukan kepada Mentri Dalam Negeri.

Gambaran Singkat

SELAYANG PANDANG


Kecamatan Dukupuntang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat dibentuk pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 26 Tahun 2000.
Luas wilayah Kecamatan Dukupuntang adalah seluas 36,4 km2 yang terdiri dari 13 wilayah desa yaitu Desa Dukupuntang, Desa Cikalahang, Desa Bobos, Desa Kepunduan, Desa Kedongdong Kidul, Desa Cipanas, Desa Girinata, Desa Balad, Desa Sindang Jawa, Desa Sindang Mekar, Desa Cangkoak, Desa Cisaat dan Desa Mandala. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kecamatan Dukupuntang dibatasi oleh :
- sebelah Utara        :  Kecamatan Palimanan dan Kecamatan Depok
- sebelah Timur        :  Kecamatan Sumber
- sebelah Selatan     :  Kabupaten Kuningan
- sebelah Barat        :  Kabupaten Majalengka
Berdasarkan data pada akhir tahun 2011, jumlah penduduk 62.063 jiwa, dengan kepadatan sebesar 1.705,03 jiwa per km2 dan jumlah kepala keluarga sebanyak 17.646 KK. Terdiri dari 31.442 jiwa dan perempuan 30.621 jiwa, sex ratio adalah 102,68.
Dalam tugasnya membangun wilayah kecamatan, Camat Dukupuntang dibantu oleh 5 UPT yaitu : UPT Pendidikan, UPT Kesehatan, UPT Balai Benih Ikan, UPT Kependudukan dan KB, serta UPT Pertanian. Dalam bidang kesehatan sebagai salah satu sarana penunjang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, tersedia tempat pelayanan kesehatan yang terdiri dari 1 unit Puskesmas, 2 unit Puskesmas Pembantu, 76 unit Posyandu, 13 unit Pos KB dan 5 unit Balai PengobatanSebagian besar masyarakat di Kecamatan Dukupuntang memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, industri batu alam dan industri meubeler.
Mangga Gedong Gincu banyak terdapat di Desa Girinata sekitar 92.000 pohon milik beberapa kelompok petani dan Kebun Mangga Gedong Gincu di Desa Sindangjawa seluas 11 Ha. Buah yang dihasilkan lebih besar, lebih manis dan tahan hingga 2 minggu setelah panen.
Grand Design Pembangunan wilayah Kecamatan Dukupuntang diarahkan kepada Pengembangan Obyek Wisata Kawasan Situ Pajaten di Desa Cikalahang dan Relokasi Usaha Industri dan Kerajinan Batu Alam di Desa Kepunduan.

Potensi Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon

Aneka Ragam Potensi Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon dan berikut ini kami paparkan berbagai Potensi Industri Batu Alam, Perkebunan,Perikanan, Wisata Kuliner,  Industri Mebeuler,Peternakan, Handycraft, Budaya

A. INDUSTRI BATU ALAM 

    Sentra lokasi industri kecil batu alam terdapat di Desa Bobos dan Desa Dukupuntang Kecamatan Dukupuntang. Di Tingkat nasional lebih dikenal dengan nama Batu Palimanan, banyak digunakan untuk mempercantik bangunan. 


Teknologi yang dipakai masih sederhana dan saat ini ada sekira 98 unit usaha dengan tenaga kerja sebanyak 490 orang. Walaupun demikian sudah ada beberapa pengusaha yang mengekspor ke negara Taiwan, Jepang, Malaysia dengan volume ekspor 130 Countainer senilai 100.706.156 US $.


 B.  PERKEBUNAN



Areal Perkebunan Mangga Gedong Gincu  Desa Girinata terdapat sekitar 92.000 pohon milik beberapa kelompok petani. Buah yang dihasilkan lebih besar, lebih manis dan tahan hingga 2 minggu setelah panen. Juga terdapat areal Kebun Mangga Gedong Gincu di Desa Sindangjawa dengan luas sekitar 11 Ha. Pangsa pasar baru sekitar wilayah tiga Cirebon.


 C. PERIKANAN

         Di Kabupaten Cirebon, usaha perikanan banyak terdapat di Kecamatan Dukupuntang karena didukung dengan air yang melimpah ruah. Selain itu terdapat Balai Benih Ikan milik Dinas Perikanan & Kelautan Kab. Cirebon. 


D. KULINER
        


Usaha kuliner terpusat di Desa Cikalahang dengan variasi menu yang dapat memanjakan lidah. Pengunjung juga dapat menikmati keindahan ikan mas dan ikan koi yang beragam warna di kolam-kolam yang terdapat dalam rumah makan. Di salah satu rumah makan Juga terdapat kolam untuk terapi kesehatan dengan media ikan

E. INDUSTRI MEUBELER


Industri kecil kerajinan meubeler dari kayu di wilayah Kabupaten Cirebon terdapat di Desa Kaliwulu Kecamatan Plered,  Desa Cikeduk Kecamatan Depok dan Desa Sindangmekar Kecamatan Dukupuntang.
Data tercatat jumlah unit usaha meubel / kerajinan kayu sebanyak 1.138 buah dengan menyerap tenaga kerja 5.308 orang dan kapasitas produksi 428.760 pcs / tahun senilai Rp. 141.242.220.000 dengan nilai investasi Rp. 2.936.750.000,-    

F. PETERNAKAN

Usaha peternakan di Kec. Dukupuntang lebih banyak kepada penggemukan kambing /domba. Pemasaran dilakukan dengan cara membawa domba ke pasar-pasar hewan se-wilayah tiga Cirebon. Di Kec. Dukupuntang juga terdapat Pasar Kambing di areal Pasar Kramat yang ramai setiap hari Sabtu.

G. HANDYCRAFT


Kerajinan Wayang Kulit dibuat oleh Bapak Arto Bin Emo Desa Dukupuntang Blok Kramat RT14/05. Kerajinan wayang kulit berawal dari Alm. Bapak Emo yang merupakan dalang terkenal.

H. BUDAYA

Calung Cangcang merupakan warisan budaya leluhur dari Desa Cipanas. Terdiri dari dua buah calung dari bambu tutul yang dibuat tahun 1916 namun masih dalam kondisi bagus. Dimainkan pada saat Nadhar ketika terkabulnya harapan seseorang.




Obyek Wisata Kawah Belerang Garuda Jaya Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon


Kawah Belerang Garuda Jaya terletak di Desa Cipanas. Kawah Belerang Garuda Jaya merupakan mata air panas dengan kandungan belerang yang tinggi, dikembangkan untuk pemandian air panas dan sebagai terapi kesehatan.

Obyek Wisata Kawasan Wisata Gunung Jedud Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon




Kawasan Wisata Gunung Jedud memiliki luas ± 740 Ha. Merupakan kawasan wisata keluarga yang memiliki keindahan alam dengan perbukitan yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Telah dilengkapi dengan areal permainan anak dan outbond.

Obyek Wisata Kawasan Gunung Lingga Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon


Kawasan Wisata Gunung Lingga terletak di Desa Cangkoak. Selain sebagai Bumi Perkemahan juga sangat tepat untuk wisata sejarah karena di dalamnya terdapat kawasan batu tonjong sebagai peninggalan sejarah megalithikum. 

Obyek Wisata Bumi Perkemahan Kawah Simeut Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon



                              

Terletak di Desa Kedongdong Kidul, dengan luas ± 2 Ha. Fasilitas yang telah tersedia : MCK, Outbond dan sumber mata air panas yang digunakan untuk pemandian, terapi dan pengobatan.

Obyek Wisata Curug Cigetruk Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon


Curug Cigetruk ini  Terletak di Desa Mandala memiliki ketinggian ± 35 m. Curug Cigetruk memiliki tekstur alami dan tebing dengan batu-batu besar serta debit air yang cukup tinggi. 

Obyek Wisata Curug Ciranca Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon


  

Terletak di Desa Kedongdong Kidul memiliki ketinggian ± 30 m. Curug Ciranca memiliki tekstur alami dan tebing serta perbukitan terjal. Lebih menarik lagi adalah jika dipadukan dengan kegiatan outbond, karena akses menuju Curug Ciranca sangat menantang melewati persawahan, jalan kecil, hutan, serta  masuk ke sungai dengan tekstur bebatuan serta akar-akar pepohonan yang menjulur disisi tebing sungai.

Obyek Wisata Situ Pajaten Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon

Kawasan Situ Pajaten Obyek Wisata  Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon


Terletak di Desa Cikalahang dengan areal seluas ± 5,5 Ha. berdekatan dengan Obyek Wisata Telaga Remis Kabupaten Kuningan.

Kawasan Situ Pajaten memiliki danau buatan yang digunakan untuk pemandian dan pemancingan.
Di sekitar danau, dapat digunakan sebagai areal perkemahan.

            Akses masuk telah memiliki jalan aspal yang layak. Dilengkapi pula dengan banyaknya rumah makan ikan bakar yang menyediakan  berbagai macam menu makanan.

Asal-Usul Desa Kepunduan Kab. Cirebon

Asal-Usul Desa Kepunduan Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon

            Pada masa ketika kesultanan Cirebon dipimpim oleh Gusti Sinuhun Syarif Hidayatullah dan istrinya Nyi Mas Pakungwati. Pada suatu ketika, Nyi Mas Pakungwati jarang bertemu dengan suaminya, yaitu Gusti Sinuhun Syarif Hidayatullah. Hal ini dikarenakan suaminya sebagai pemimpin kesultanan Cirebon dan juga sebagai waliullah yang bertugas mengembangkan agama Islam.

Untuk menghilangkan kejenuhannya, Nyi Mas pakungwati pergi ke barat hingga ke daerah Warugede. Nyi Mas Pakung Wati pergi karena pundung ( sunda ) yang artinya meninggalkan rumah karena rasa kekesalan terhadap suami. sambil menenangkan pikiran, akhirnya Nyi Mas Pakungwati memutuskan untuk menetap sementara di suatu perkampungan. Oleh masyarakat setempat daerah tersebut diberi nama Kepunduan, dari kata sunda ” Pundung ” yang  kemudian menjadi sebuah nama desa yang disebut Kepunduan yang termasuk wilayah kecamatan Dukupuntang dan Kabupatennya Cirebon

Pengikut Nyi Mas Pakungwati diantaranya adalah Ki Bewid dan Nyi Bewid, Ki Sulun dan Nyi Sulun, dan pangeran Dul, merekalah yang menemani Nyi Mas Pakungwati dalam kepergiannya meninggalkan keraton kasepuhan Cirebon. Sedangkan pengikutnya diperintahkan untuk menetap di daerah tersebut, yaitu Kepunduan. Mereka menetap untuk memeberikan ilmu agama Islam kepada masyarakat serta pengembangan perkampungan. Setelah para pengikut Nyi Mas Pakungwati wafat, masyarakat setempat menguburkan jenazah para pengikutnya di areal dekat sungai Cimanggung yang terletak di perbatasan desa Kepunduan dan desa Warugede.

Di Kepunduan terdapat pula dua tokoh masyarakat, yaitu Ki Argasela dan Nyi Supriya yang dikenal dengan nama Nyi Brintik. Kedua tokoh tersebut menurut masyarakat adalah yang mengawali membuka hutan untuk dijadikan pemukiman penduduk. Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggapnya buyut ( moyang ), sehingga setiap tahun diadakan upacara “Ngunjung Buyut”, yaitu ziarah ke Ki Argasela dan Nyi Brintik yang maksudnya mendo’akan para leluhurnya.

Asal-Usul Desa Sindangjawa Kab. Cirebon

Asal-Usul Desa Sindangjawa Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon

         Berawal sekitar abad 16 masehi, seorang Resi yang bernama Pandunata mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Indang Larasakti, mendirikan sebuah pedukuhan disebelah utara kaki gunung Ciremai yang diberi nama Padukuhan Banjarmelati. Kata Banjar yang berarti pekarangan dan Melati berarti bunga putih yang harum baunya. Jadi Banjarmelati artinya sebuah pekarangan atau pemukiman yang bersih dan menyenangkan. Padukuhan Banjarmelati berada dibawah kekuasaan kerajaan galuh (kawali) yang berafiliasi dengan pakuan pajajaran.

 Resi Pandunata kemudian menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putrinya yang bernama Nyi Mas Indang Larasakti, pada masa kekuasaan Nyi Mas Indang Larasakti, padukuhan Banjarmelati kedatangan utusan dari Kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh Ki Sura yang membawa perintah untuk menyebarkan agama islam. Hal ini sudah diprediksi oleh Resi Pandunata dan menyarankan kepada Nyi Mas Indang Larasakti agar nantinya dapat menerima dengan baik atas kedatangan utusan dari Kesultanan Cirebon.
Dengan kedatangan Ki Sura dan pasukannya dipadukuhan Banjarmelati membawa perubahan yang amat pesat, sehingga pedukuhan atau perkampungan Banjarmelati menjadi ramai dan menyenangkan dengan suasana yang terang benderang. Karena itulah nama Banjarmelati diganti menjadi Banjarpatom, yang berarti pekarangan atau pemukiman yang bercahaya.

Pada tahun 1629 M, pasukan tentara Sultan Agung yang dipimpin oleh Ki Padmanegara dan Suryalaga, yang mengalami kegagalan dalam melancaran serangannya terhadap VOC dalam perjalan pulangnya ke Mataram mereka singgah untuk beristirahat di Banjarpatoman, karena suasana perkampungan Banjarpatoman yang ramai dan menyenangkan sehingga mereka nyaman dan kerasan tinggal di Banjarpatoman dan sebagian besar dari mereka memutuskan untuk tetap tinggal di Banjarpatoman. Hal ini kemudian diketahui oleh Sultan Cirebon dan menaruh perhatian besar terhadap pasukan dari Jawa ini karena menganggap mereka adalah pejuang.

 Kehadiran tentara Sultan Agung di Banjarpatoman merupakan peristiwa bersejarah yang perlu dikenang. Karena itulah Sultan Cirebon tempat ini diberi nama Sindangjawa. Kata Sindang yang berati singgah dan Jawa berasal dari Orang Jawa (Mataram). Jadi Sindangjawa berarti Singgahnya Orang-orang Jawa. Sejak itulah nama Banjarpatoman dilupakan dan orang sering menyebut dengan nama Sindangjawa.

Asal – Usul Desa Cisaat Kab. Cirebon

Asal – Usul Desa Cisaat Kab. Cirebon

            Pada abad XIV daerah ini bernama Tresna yang merupakan pintu keluar masuknya para ki gedeng seperti Ki Gedeng Palimanan dan Ki Gedeng Pasawahan yang hendak berburu rusa dan menikmati pemandangan pegunungan. Oleh karena daerahnya sering dilewati pemburu, Ki Buyut Tresna dikenal dengan nama Ki Paderesan.

            Ki Gedeng Pasawahan alias Ki Makeru di samping senang berburu, ia kerap kali memusuhi Mbah Kuwu Sangkan di mana keduanya sama kuat, baik ketika bertempur di atas gunung maupun bertarung di atas air. Ki Makeru tidak segan-segan melakukan tipu daya dengan cara yang licik, dan secara tiba-tiba memukul dari belakang, sehingga Mbah Kuwu dengan ketinggian ilmunya semula terkesan tidak sungguh-sungguh melayani setiap pertarungan.

            Ki Makeru terkenal sakti mandraguna. Ia 
memiliki berbagai ilmu hitam seperti ilmu meringankan tubuh, masuk lubang kecil, ilmu mencala putra mencala putri untuk menipu jalasutra, sehingga ia selalu menginginkan pertarungan dilakukan di atas gunung atau di atas air. Mbah Kuwu akhirnya meladeni setiap keinginan Kimakeru, dimana dengan kepandaian ilmunya beliau mengetahui kelemahan musuhnya, apalagi pengikut Kimakeru sebagian besar telah ditundukannya. Segala cara yang di tempuk Ki Makeru dengan mudah dipatahkan beliau. Meskipun bukan tandingan Mbah Kuwu, Ki Makeru tetap tidak mau tunduk bahkan oleh kerena merasa dipermalukan ia menghilang, tidak mau masuk agama islam.

            Setelah melakukan pertempuran, Mbah kuwu bermaksud meninggalkan Pasawahan untuk beristirahat sambil menikmati air pohon enau (lahang) kesukaannya di Panderesan. Sangat disayangkan air lahang kesayangannya tidak tersedia sehingga Mbah Kuwu kecewa dan berkata kepada Ki Panderesan, apabila hendak menyadap aren bacakan syahadat tiga kali.

            Sekembalinya Mbah Kuwu ke Cirebon, Ki Panderesan segera membuat lodong dari bambu untuk menyadap aren. Sebagaimana dipesankan Mbah Kuwu, Ketika akan memasang lodong Ki Panderean tidak lupa membaca syahadat tiga kali. Sungguh ajaib ketika lodong diturunkan esok harinya, ternyata lodong itu tidak berisi air lahang melainkan mas dan intan.

            Ki Panderesan sangat gembira dan berbahagia. Ia bernadar ingin makan bersama Mbah Kuwu serta pengikutnya yang akan singgah kembali di Panderesan. Untuk menghormati tamunya itu, Ki Panderesan menyediakan berbagai hidangan, hingga tanpa disadari ayam yang sedang mengerampun ia potong. Ketika Mbah Kuwu menikmati hidangan itu, beliau tersenyum dengan hati yang tak tega oleh karena panggang ayam yang dihidangkan itu berasal dari induk ayam yang sedang mengeram. Tak lama kemudian panggang ayam itu berubah, hidup kembali seperti semula.

            Ketika akan kembali ke Cirebon, Mbah Kuwu mengajak Ki Panderesan pergi ke Cirebon. Ketika ditanyakan kepada Mbah Kuwu apakah hewan-hewan peliharaan seperti ayam, bebek, kambing dan lainnya perlu dibawa ke Cierbon? Mbah Kuwu Sangkan Mengatakan tidak perlu. “Lihat saja nanti apa yang akan terjadi”, pintanya. Dan tak lama kemudian semua hewan berubah menjadi ular. Oleh karena itu, daerah ini terkenal dengan ular-ularnya yang besar. Dalam perjalanan ke Cirebon, Pusaka cis milik Mbah Kuwu terjatuh ke sungai. Para pengikut Mbah Kuwu segera menambak sungai dengan pasir atau keusik. Setelah itu airnya ditimba atau di parak berammai-ramai hingga kering atau saat, akan tetapi yang ditemukan hanya kerangkanya saja. Sungai tempat terjatuhnya cis Mbah Kuwu itu dikenal dengan nama Parakan Keusik, dan daerah sekitarnya di sebut Cisaat hingga sekarang.