Balad berarti wadah atau tempat menampung/berkumpul,
sedangkan arti yang lain Berasal dari kata bala yang berarti prajurit, pasukan
perang kerajaan. Jadi Balad mengandung arti tempat penampungan atau
berkumpulnya para wadyabala/ bala tentara yakni prajurit perang kerajaan. Namun
ada lagi yang mengatakan nama Balad diambil dari asal kata Balad, bahasa arab
yang berarti “Negara”, karena identik dengan tempat berkumpulnya para wali,
para sesepuh, sultan dari kesultanan Cirebon serta tempat berkumpulnya para
wadyabala gabungan (para prajurit perang kerajaan) Demak, Kuningan dan Kerajaan
Cherbon pada waktu terjadinya perang Raja Galuh dengan Kerajaan Cherbon.
Pada jaman dahulu Baladf termasuk wilayah pesanggrahan Waru
Gede, yaitu kekuasaan Nyi Mas Pakungwati.
Pada Tahun 1470 M, Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah
dari Negeri Mesir, selang satu tahun kedatangannya di bumi Cerbon, beliau
menikah dengan Nyi Babadan putrid Ki Gedeng Babadan penguasa asal Galuh. Pada
Tahun 1475 M, beliau menikah dengan Nyi Kawung Anten, adik dari Bupati Banten.
Pada Tahun 1478, menikah lagi dengan putrid kesayangan Pangeran Cakrabuana
yaitu Nyi Mas Pakungwati yang memiliki kepribadian terpuji, tutur kata, sikap
prilaku dan perbuatannya menunjukkan keteladanan hidup bagi seorang wanita pada
zaman itu. Pada Tahun 1481 M, Syarif Hidayatullah menikah dengan Ong Thien
putrid Kaisar Yu Wang Lo dari negeri China yang berganti nama Ratu Mas Rara
Sumanding. Tahun 1485 beliau menikah lagi dengan Nyai Lara Baghdad, adik dari
Syarif Abdurahman (Pangeran Panjunan) yang masih ada garis keturunan dengan
Syarif Abdullah, ayahanda Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah juga menikah
lagi dengan Nyai Tepasari, putrid Ki Gedeng Tapasari pembesar Majapahit. Dari
pernikahannya dengan Nyi Mas Tepasari dikaruniai 2 orang anak yaitu Ratu Ayu
dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean).
Bertitik tolak dari permasalahan rumah tangga inilah, Nyi Mas
Pakungwati memutuskan pergi meninggalkan Keraton Cirebon menuju Banten untuk
mencari ketenangan lahir batin dengan membawa emban yang setia mendampingi
perjalanannya. Setelah beberapa lama tinggal di Banten beliau kembali ke
Cirebon, namun tidak langsung ke Istana Pakungwati tapi singgah di sebuah
pedukuhan bernama Duku Demit (Cidemit) yang saat itu ada seorang kyai sedang
babad alas yaitu Ki Maujud (Ki Gede Waru) dari Pajaran. Ki Maujud menyambutnya
dengan sukacita.
Ketika sedang berada di Cidemit, pembantu Nyi Mas Pakungwati
sedang hamil tua dan akan melahirkan. Beliau mencari dukun bayi maka
berjalanlah kea rah selatan sampai di suatu tempat pawongan/pembantu tadi
melahirkan bayi kembar dua. Beberapa hari tinggal di sekitar tempat itu kea rah
utara komplek Syech Umar al-Faqih disebut Kebuyutan Kramat Dukumalang. Dari
Kebuyutan Kramat Duku Malang berjalan kea rah barat sambil mencari air ada
orang ditanya tapi tidak mau menjawab malah pergi menghindar, terus ke utara
dan menanyakan lagi dimana air/sumber air kepada seseorang dan memberitahukan
serta mengantarnya sampai ke sumber air (Sumur Balad sekarang), akhirnya Nyi
Mas Pakungwati berucap kelak di tempat ini ada 7 sumber mata air yang tidak
akan mengalami kekeringan. Perjalanan diteruskan kea rah barat, utara sampai ke
sebuah gubug panggung dan singgah untuk istirahat. Dengan kehadiran Nyi Mas
Pakungwati di tempat itu menjadi harum namanya (banyak orang membicarakannya)
sehingga disebut orang manggung wangi (Girinata sekarang). Perjalanan
diteruskan kea rah timur sampai ke sungai, beliau dalam keadaan hati rundung
/pundung/gundah gulana disebut sungai Cirundung (Kepunduan sekarang) dan terus
kembali ke Pasanggrahan Waru Gede.
Kanjeng Sinuhun mengajak Nyi Mas Pakungwati untuk kembali ke
keraton Cerbon. Namun Nyi Mas Pakungwati masih tetap ingin tinggal di pesanggrahan
Waru Gede, sehingga kanjeng sinuhun mengijinkannya dengan memenuhi kebutuhan
baik alat-alat atau pun dayang-dayang dan para wadya bala secukupnya untuk
mengawal dan menjaga keamanan.
Babad hutan yang dilakukan Ki Gede Waru dengan alat sederhana
membuat Nyi Mas Pakungwati berinisiatif membabat alas dengan cara dibakar.
Ternyata hutan yang dibakar sampai ke Padabeunghar kecuali di Gunung Lingga
(disana ada orang cina bernama Cang Kong Wak/Cangkoak).
Wilayah pesanggrahan Waru Gede hasil bakar hutan meliputi:
Pesanggrahan Waru, Kepunduan, Kedoya, Balad, Cangkoak, Dukupuntang, Cikalahang
dan Padabeunghar.
Saat perang Rajagaluh, dukuh Demit atau Cidemit adalah tempat
strategis untuk menunaikan ibadah shalat bagi para wadyabala carbon, Kuningan
dan Demak serta untuk mengatur siasat perang. Berkumpul di Cidemit yang
selanjutnya disebut Balad.
Pertempuran Pasukan Galuh dengan Pasukan Cerbon berlangsung
di Desa Cipanas sekarang terjadi sangat sengit hingga akhirnya Rajagaluh kalah
perang dan digabungkan dengan Cherbon pada tahun 1528. Duku Demit atau Cidemit
menjadi wadah yakni tempat penampungan atau berkumpulnya bala tentara Cherbon,
Kuningan dan Demak untuk melakukan ibadah shalat dan menyiapkan strategi
perang, sekaligus sebagai tempat berkumpulnya para wali untuk musyawarah mengenai
penyiaran agama Islam. Selanjutnya tempat tersebut menjadi Desa Balad.
Tak lepas dari kisah walisongo ya
BalasHapusTak lepas dari kisah walisongo ya
BalasHapus